........kenangan........
Empat tahun yang menyebalkan itu akhirnya berlalu, berakhir dengan cukup memuaskan setelah semua pengorbanan yang legal maupun tidak. Legal karena mengikuti aturan yang ditetapkan kampus. Tidak legal karena menyalahi aturan seperti memilih tidur nyenyak di rumah tatkala dosen berkepala ikan lohan memberi kuliah yang cukup dahsyat mensuplai kebutuhan sistem kantuk setiap pendengar.
Namun menjelang sidang meja hijau, beruntung Zsa masih diridhoi sang dewi fortuna yang mengiringinya sukses melewati babak-babak menegangkan itu selama tahap-tahap �interogasi� empat dosen berumur lebih setengah abad yang intelek nan sadis itu.
Flash back ke akhir tahun 2005 di bangku panjang yang berada di sepanjang koridor, di lantai dua:
�Nunggu siapa?�
�Bus.�
�Semua orang udah hampir pulang tuh, kamu sendiri? Kalau aku punya helm, aku bisa antar kamu pulang.�
�Ngak usah, repotin aja.�
�Ngak pa-pa kok. Tunggu dulu ya, kamu jangan ke mana-mana dulu, aku coba tanya sama Budi dulu.�
Leo kembali tanpa helm yang ia janjikan.
�Itu si Edward sepertinya ada, coba aku tanya dulu.�
�Aduh, ngak usah. Kok pinjam sama dia.�
�Ngak pa-pa, ntar aku tanya dia dulu.�
Lagi-lagi, Leo kembali tanpa hasil.
Kemudian terjadi percakapan demi percakapan. �Ternyata dunia begitu sempit ya.� gumam Leo setelah melalui percakapan mereka akhirnya tersibak beberapa hal dan beberapa orang yang mereka sama-sama kenal juga.
Senja mulai turun ke singgasananya. Jam analog di hp Zsa mulai beranjak lebih pukul enam. Hatinya mulai tidak tenang menunggu kehadiran abang bus yang tak kunjung muncul.
Sementara Leo masih menunggu bersama Budi, Edward, dan Didi di koridor. Edward sedang menceritakan tentang film animasi yang baru ditontonnya, membeberkan sisi-sisi humor film itu namun tak seorangpun yang nampaknya terkesan mendengar lelucon itu.
Zsa sedikit menguping percakapan mereka. Ya, nampaknya lelucon yang dibawakan itu tidak terlalu bisa mengocok perut. Saat itu mungkin Budi, Deni dan Zsa sendiri sedang berada pada alam pikiran masing-masing.
Leo kemudian bangkit, berjalan mendekati Zsa lagi. �Kalau kamu berani, kamu ngak usah pakai helm aja, gimana? Ini kayaknya polisi juga udah ngak begitu perhatiin lagi kalo udah lewat jam 6.� ucap Leo memberi alternatif yang sebenarnya cukup beralasan.
Namun entahlah, saat itu yang ada di benak Zsa yaitu ingin berada di sana. Ya, berada di sana, hanya ingin berdiri menyandarkan dirinya di koridor itu, menatap senja terbenam.
Begitu indah. Begitu langka. Kapan lagi Zsa bisa menatap senja seindah itu kalau bukan sekarang?
Zsa hanya bisa menolak tawaran Leo dengan halus. Dan benar saja, bunyi klakson busnya akhirnya hadir juga memecahkan suasana yang damai itu.
Zsa berpamitan, menatap penuh arti pada seseorang di sana.
Mereka tidak pernah diizinkan untuk bersatu.
Tidak sekarang, maupun nanti.
Begitu senja terbenam, terbenam pula semua harapan, dan kenangan.
Mungkin memang lebih baik begitu, batin Zsa pedih.
Namun menjelang sidang meja hijau, beruntung Zsa masih diridhoi sang dewi fortuna yang mengiringinya sukses melewati babak-babak menegangkan itu selama tahap-tahap �interogasi� empat dosen berumur lebih setengah abad yang intelek nan sadis itu.
Flash back ke akhir tahun 2005 di bangku panjang yang berada di sepanjang koridor, di lantai dua:
�Nunggu siapa?�
�Bus.�
�Semua orang udah hampir pulang tuh, kamu sendiri? Kalau aku punya helm, aku bisa antar kamu pulang.�
�Ngak usah, repotin aja.�
�Ngak pa-pa kok. Tunggu dulu ya, kamu jangan ke mana-mana dulu, aku coba tanya sama Budi dulu.�
Leo kembali tanpa helm yang ia janjikan.
�Itu si Edward sepertinya ada, coba aku tanya dulu.�
�Aduh, ngak usah. Kok pinjam sama dia.�
�Ngak pa-pa, ntar aku tanya dia dulu.�
Lagi-lagi, Leo kembali tanpa hasil.
Kemudian terjadi percakapan demi percakapan. �Ternyata dunia begitu sempit ya.� gumam Leo setelah melalui percakapan mereka akhirnya tersibak beberapa hal dan beberapa orang yang mereka sama-sama kenal juga.
Senja mulai turun ke singgasananya. Jam analog di hp Zsa mulai beranjak lebih pukul enam. Hatinya mulai tidak tenang menunggu kehadiran abang bus yang tak kunjung muncul.
Sementara Leo masih menunggu bersama Budi, Edward, dan Didi di koridor. Edward sedang menceritakan tentang film animasi yang baru ditontonnya, membeberkan sisi-sisi humor film itu namun tak seorangpun yang nampaknya terkesan mendengar lelucon itu.
Zsa sedikit menguping percakapan mereka. Ya, nampaknya lelucon yang dibawakan itu tidak terlalu bisa mengocok perut. Saat itu mungkin Budi, Deni dan Zsa sendiri sedang berada pada alam pikiran masing-masing.
Leo kemudian bangkit, berjalan mendekati Zsa lagi. �Kalau kamu berani, kamu ngak usah pakai helm aja, gimana? Ini kayaknya polisi juga udah ngak begitu perhatiin lagi kalo udah lewat jam 6.� ucap Leo memberi alternatif yang sebenarnya cukup beralasan.
Namun entahlah, saat itu yang ada di benak Zsa yaitu ingin berada di sana. Ya, berada di sana, hanya ingin berdiri menyandarkan dirinya di koridor itu, menatap senja terbenam.
Begitu indah. Begitu langka. Kapan lagi Zsa bisa menatap senja seindah itu kalau bukan sekarang?
Zsa hanya bisa menolak tawaran Leo dengan halus. Dan benar saja, bunyi klakson busnya akhirnya hadir juga memecahkan suasana yang damai itu.
Zsa berpamitan, menatap penuh arti pada seseorang di sana.
Mereka tidak pernah diizinkan untuk bersatu.
Tidak sekarang, maupun nanti.
Begitu senja terbenam, terbenam pula semua harapan, dan kenangan.
Mungkin memang lebih baik begitu, batin Zsa pedih.